19 adalah angka yang indah. Iya, indah saja, tidak beralasan. Semua orang boleh berpendapat, bukan?
19 adalah angka yang tidak sedikit. Membutuhkan dua goresan pena setidaknya, dengan tikungan curam untuk membuatnya.
19 adalah angka yang berkah. 100 tidak akan sempurna jika hanya 81.
19 adalah angka yang berat. Setidaknya satu tahap lagi menuju angka kepala dua.
19 adalah angka yang populer dalam sejarah. Untuk nominal tahun, seperti 19--.
19 adalah angka yang visioner. Pemiliknya cenderung memandang jauh ke depan, melihat keberadaan kesempatan dan asa di setiap sela.
19 adalah angka kelahiran penyanyi dan musisi ternama Amerika, Paula Abdul, Ann Wilson, dan Larry Dunn.
19 yang ke 19 ini menjadikannya dua kali lipat.
Kebahagiaan, pencapaian, mimpi, semangat. Semuanya dua kali lipat, seperti 19 yang kupunya.
Terimakasih, Allah SWT. Ingatkan aku jika kepalaku terlalu condong ke atas, seimbangkan aku dengan kasih-Mu..
Terimakasih, Ayah & Ibu. Man & Woman of Steel di hidupku, membuatku tegak berdiri hingga detik ini.
Terimakasih, Banjarnegara.
Wednesday, June 19, 2013
Thursday, May 9, 2013
Kegamangan Mahasiswa
Mata pisau itu semakin tajam.
Hela nafas itu menderu semakin kritis.
Ada yang harus dikeluarkan.
Tekanan itu semakin kuat.
Nurani tak lagi berjalan beriringan.
Ada yang harus disalahkan.
Mahasiswa, sang otot polos dalam diafragma kehidupan.
Menompang nafas kehidupan selamanya, berjalan mengikuti arus.
Mengenai keinginan, keadaan, dan kondisi tubuh.
Menyeimbangkan fakta, realita, dan opini publik.
Birokrasi, sahabat mahasiswa.
Birokrasi yang salah, musuh besar mahasiswa.
Pemerintahan, masa depan mahasiswa.
Pemerintahan rezim buruk, belati mimpi-mimpi mahasiswa.
Jangan main-main dengan mahasiswa.
Karena nyatanya mahasiswa saat ini kerjanya hanya main-main.
Memainkan diri sendiri untuk dipermainkan.
Jangan main-main dengan mahasiswa.
Karena mempermainkan mahasiswa sama saja dengan memainkan lakon generasi selanjutnya.
Yang mungkin tidak akan menjadi lebih baik dari saat ini dan seterusnya.
Akan terulangkah rezim otoriter yang tergulung seruan mahasiswa?
Kita lihat saja permainan mahasiswa.
Cukup 'maha' kah kekuatannya.
Sekuat titel yang ada di namanya.
Hela nafas itu menderu semakin kritis.
Ada yang harus dikeluarkan.
Tekanan itu semakin kuat.
Nurani tak lagi berjalan beriringan.
Ada yang harus disalahkan.
Mahasiswa, sang otot polos dalam diafragma kehidupan.
Menompang nafas kehidupan selamanya, berjalan mengikuti arus.
Mengenai keinginan, keadaan, dan kondisi tubuh.
Menyeimbangkan fakta, realita, dan opini publik.
Birokrasi, sahabat mahasiswa.
Birokrasi yang salah, musuh besar mahasiswa.
Pemerintahan, masa depan mahasiswa.
Pemerintahan rezim buruk, belati mimpi-mimpi mahasiswa.
Jangan main-main dengan mahasiswa.
Karena nyatanya mahasiswa saat ini kerjanya hanya main-main.
Memainkan diri sendiri untuk dipermainkan.
Jangan main-main dengan mahasiswa.
Karena mempermainkan mahasiswa sama saja dengan memainkan lakon generasi selanjutnya.
Yang mungkin tidak akan menjadi lebih baik dari saat ini dan seterusnya.
Akan terulangkah rezim otoriter yang tergulung seruan mahasiswa?
Kita lihat saja permainan mahasiswa.
Cukup 'maha' kah kekuatannya.
Sekuat titel yang ada di namanya.
Yogyakarta, sesaat sebelum senja.
Tuesday, April 9, 2013
Perkenalkan, namanya Rindu.
Halo.
Rindu kembali ke rumah. Ya, rumah. Rumah yang kini sudah penuh sarang laba-laba. Bisa pinjamkan saya sapu untuk membersihkannya? Ah ya, tidak. Saya harus mengambilnya sendiri.
Akan saya bersihkan kecoa-kecoa yang bersarang di dalamnya. Saya cat ulang dengan warna teduh kesukaan saya. Dan saya hias dindingnya dengan coretan (yang menurut saya) indah. Untuk pada akhirnya merekam semua pikiran saya, yang akan saya tertawakan sepuluh tahun lagi.
Anyway, beberapa waktu terakhir saya sempat beberapa kali berkumpul bersama teman-teman kampus, mengisi waktu dan menguji pikiran. Mereka sedang demam blogging. Sebenarnya inilah yang membuat saya tiba-tiba tergugah dan mencoba kembali menulis. Ternyata memulai sesuatu yang sudah lama tidak tebiasa itu sulit, Jenderal. Membutuhkan tenaga dan effort yang besar. Apalagi dengan kesibukan yang semakin menyangsikan waktu saya untuk berfiksi-ria dan merajut kata sekedar melegakan diri.
But, here I am. Ready to write again. Dengan pola pikir yang terus berkembang.
Semoga rindu ini terus bertahan. Salam rindu,
Ninda.
Rindu kembali ke rumah. Ya, rumah. Rumah yang kini sudah penuh sarang laba-laba. Bisa pinjamkan saya sapu untuk membersihkannya? Ah ya, tidak. Saya harus mengambilnya sendiri.
Akan saya bersihkan kecoa-kecoa yang bersarang di dalamnya. Saya cat ulang dengan warna teduh kesukaan saya. Dan saya hias dindingnya dengan coretan (yang menurut saya) indah. Untuk pada akhirnya merekam semua pikiran saya, yang akan saya tertawakan sepuluh tahun lagi.
Anyway, beberapa waktu terakhir saya sempat beberapa kali berkumpul bersama teman-teman kampus, mengisi waktu dan menguji pikiran. Mereka sedang demam blogging. Sebenarnya inilah yang membuat saya tiba-tiba tergugah dan mencoba kembali menulis. Ternyata memulai sesuatu yang sudah lama tidak tebiasa itu sulit, Jenderal. Membutuhkan tenaga dan effort yang besar. Apalagi dengan kesibukan yang semakin menyangsikan waktu saya untuk berfiksi-ria dan merajut kata sekedar melegakan diri.
But, here I am. Ready to write again. Dengan pola pikir yang terus berkembang.
Semoga rindu ini terus bertahan. Salam rindu,
Ninda.
Wednesday, February 6, 2013
Cintai (lagi) Selamanik Kita!
PS:
Tulisan ini didedikasikan untuk #CintaSelamanik yang digagas oleh
Paguyuban Kakang Mbekayu Duta Wisata Kabupaten Banjarnegara.
Siapa yang tidak suka dengan pesona alam
yang indah, kicauan burung yang saling bersautan, gemercik air sungai
yang menentramkan, juga gemerisik dedaunan yang ditiup angin. Semuanya
begitu alami, begitu asri. Terakhir kali saya menjejakkan kaki ke tempat
ini untuk menikmati adalah… Entahlah, mungkin belum pernah. Selamanik,
namanya. Nama aslinya adalah Taman Rekreasi Marga Satwa Serulingmas,
namun masyarakat daerah saya, Banjarnegara, lebih sering menyebutnya
Selamanik, karena di dalamnya terdapat Makam Ki Ageng Selamanik.
Waktu kecil, cinta saya akan tempat ini
begitu sederhana. Begitu masuk gerbang Selamanik, sambutan datang begitu
gemuruh, suara-suara hewan bersautan seakan gembira menyambut
kedatangan saya. Jalanan turun yang ada begitu masuk, selalu saya
manfaatkan untuk berlari kencang untuk merasakan wajah dan rambut saya
yang ditiup angin bak model iklan shampoo. Saya suka berjalan di
setapak buatan yang menghubungkan kandang satu dengan yang lain,
terutama kandang macan dan harimau yang letaknya bersisian. Mengintai
tingkah laku burung merak dan menantinya melebarkan sayapnya yang indah
itu menjadi kegiatan yang mengasyikkan. Atau sengaja membeli kacang
kulit lalu takut-takut memberikannya pada monyet-monyet yang
bergelantungan di kandang. Kemudian duduk di sela pohon beringin besar
yang bersisian untuk beristirahat. Rimbunnya pohon membuat saya tak
takut hitam, walaupun aslinya sudah demikian, hehe. Sampai saya duduk di
bangku SD, saya memang jarang mengunjungi kebun binatangnya, yang
paling sering adalah berenang di area kolam renangnya. SDN 4 Krandegan,
tempat saya bersekolah saat itu, mewajibkan adanya olahraga renang, yang
saat itu satu-satunya kolam renang yang ada hanyalah di Selamanik. Kami
selalu bersemangat sebelum berenang, jalannya yang cenderung turun
begitu menyenangkan dan memacu kami untuk cepet-cepetan sampai di kolam dan manjlub.
Dulu, sempat beredar isu kalau kita menyelam dengan mata terbuka nanti
bisa melihat buaya putih atau ular yang besarrr sekali. Hahaha, tenang
itu hanya mitos. Ritual pipis di kolam renang juga pernah, hehehe, siapa
coba yang belum pernah, hayo ngaku? Tapi hal paling menyebalkan adalah
saat harus bilas dan pulang. Pokoknya harus yang paling cepat, jika
tidak, katanya di kamar mandi akan ditemani sama mbah Selamanik. Hiiy.
Hahahaha, lagi-lagi itu hanya mitos, dimana anak kecil sangat percaya
padanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)