Monday, March 17, 2014

Keinginan.

Sepanjang tahun saya hidup, saya selalu memiliki keinginan. Keinginan yang kemudian tumbuh menjadi harapan. Harapan itulah yang bertransformasi menjadi ambisi. Sayangnya, ambisi ini yang terkadang disalahartikan oleh orang lain. Padahal ambisi menjadi bahan bakar dalam mencapai keinginan saya. Pada saat-saat seperti inilah, prinsip diperlukan. Prinsip menjadi pegangan yang kuat; di tengah badai pujian dan cacian. Prinsip inilah yang akhirnya membentuk karakter saya saat ini.
Saya percaya bahwa apa yang saya katakan saat ini, bisa jadi menjadi kenyataan yang saya alami esok hari. Begitu juga, saya percaya bahwa apa saja keinginan saya saat ini, akan saya dapatkan esok hari. Namun, hal ini menjadi berbeda saat beberapa kali penyakit bawaan yang saya bawa dari kota kecil tempat saya tinggal, Banjarnegara, kumat dan mengusik kehidupan saya. Penyakit itu adalah penyakit berbahaya yang bisa mempengaruhi produktivitas saya, yaitu minder. Penyakit ini sering saya alami sebelumnya, terutama di akhir Sekolah Menengah Atas dan awal masuk kuliah. Penyakit ini berimplikasi pada turunnya tingkat percaya diri, produktivitas kerja, hambatan terhadap pergaulan, dan pelampiasan kesalahan pada diri sendiri. Penyakit ini diderita hampir semua anak muda yang ada di kota kecil saya itu, dan menyisakan mimpi-mimpi yang kering dalam malam kaum mudanya. Sampai pada akhirnya, penyakit ini bisa saya binasakan dengan pikiran saya sendiri. "Cogito ergo sum", Descartes menyebutnya. Manusia ada karena pikirannya. Beberapa kejadian penting telah membuktikannya.
Hingga akhirnya, setelah berbagai proses yang saya lalui, melewati gerbang satu ke gerbang lainnya, sampailah saya di titik ini. Di depan sebuah gerbang baru, berbahan dasar emas, dan berantai baja panas. Saya berdiri sambil membayangkan apa yang akan saya rasakan saat mencoba membuka rantainya. Apakah saya bisa menahan panas yang mendera? Apakah saya bisa mengurai simpul-simpulnya? Apakah saya mampu menahan godaan dari pintu lain yang sudah terbuka? Sebenarnya yang harus saya lakukan adalah sama dengan yang pernah saya lakukan sebelumnya. Namun, pintu ini terasa berbeda; begitu berat, berharga, dan penuh pengorbanan. Walaupun saya tahu bahwa pintu inilah yang merupakan salah satu tujuan hidup saya, tujuan hidup untuk mencapai tujuan hidup yang lainnya.
Manusia harus melihat dirinya sendiri, mengukur kemampuannya, mengamati kapasitasnya, dan menganalisis tindakannya. Namun, ada momen ketika yang diinginkan berada di luar jangkauannya itu. Haruskah berhenti dan mencari pintu lain yang bahkan sudah terbuka lebar? Atau mencobanya sambil mempermalukan diri?

Saya bersyukur masih memiliki sajadah untuk bersujud panjang pada-Nya yang Maha Membolak-balikkan Hati...

No comments:

Post a Comment