Sunday, September 14, 2014

Keluarga dan Waktu



Hari Minggu adalah hari keluarga. Bagi anak-anak, piknik, rekreasi, ataupun sekadar jalan-jalan keliling kota bersama keluarga adalah kesenangan yang diharapkan. Sedangkan bagi orang tua yang bekerja, hari Minggu adalah hari untuk beristirahat dan melakukan kegiatan lain, seperti halnya bersih rumah, bercengkrama dengan tetangga, atau sekadar santai menonton televisi. Perbedaan inilah yang seringkali menimbulkan konflik dalam keluarga. Jika orang tua tak mau menghabiskan hari dengan rekreasi, sang anak bisa jadi hanya mengurung diri di kamar seharian. Begitu juga sebaliknya, orang tua akan kelelahan menghadapi hari Senin karena seharian berkegiatan. Sungguh dilema yang pahit yang berpotensi menimbulkan konflik. Namun sebenarnya itu semua bisa diatasi jika segalanya dilakukan dengan niat dan bahagia. Semua waktu tidak akan pernah terbuang sia-sia.
Hari ini aku habiskan waktuku untuk membaca, berkunjung ke rumah Budhe, bertemu dengan Ayah, lalu kami semua mengunjungi pernikahan Paman Sepupu. Selesainya, kami berkumpul di rumah Pakdhe dan berbincang sampai sore hari. Aku bahkan sempat tidur beberapa jam dan menghabiskan satu bab buku Negotiation in Social Conflict karya Dean G. Pruitt & Peter J. Carnevale. Setelah berpisah dengan Ayah yang akan kembali ke Banjarnegara, aku kembali ke kos. Sebelumnya kusambangi minimarket di dekat kos dan menghabiskan uang yang baru saja diberikan Ayah (ini menyedihkan..). Malam ini aku berencana membaca bahan bacaan mata kuliah Strategi dan mengerjakan tugas absurd Teori Politik Internasional.
Curhat? Sebenarnya yang ingin aku ceritakan adalah bagaimana waktu begitu berharga untuk disia-siakan. Berkumpul bersama keluarga adalah momen yang menyenangkan, menikmatinya selagi masih bisa. Aku bahkan mengutamakan waktu untuk keluarga di atas segalanya; urusan kampus, kantor, dan bahkan kuliah. Nope, I won’t let myself being wasted by myself, though. Urusanku bukan hanya dunia, namun juga akhirat. Sekiranya selain waktu untuk keluarga bisa menjadi waktu berpahala, semakin banyak waktu yang dihabiskan bersama, menjadikan keinginan untuk membahagiakan mereka mengalir semakin deras. Momen penuh energi ini penting untuk membuatku menjadi pribadi yang selalu bersyukur. Yuk, cintai keluarga kita. :)

Tuesday, July 1, 2014

Teman Lama yang Baru.

 Ribuan kata seharusnya saya tulis di selembar kertas kerja Ms. Word, namun kini entah kenapa saya malah mengunjungi laman blog yang sudah berdebu, membersihkan sarang laba-laba di langit-langitnya, dan mencoret lagi catatan kebersyukuran di dindingnya.
"Esai ini berusaha menjelaskan bagaimana para pelaku film bersikap terhadap kondisi yang dilahirkan globalisasi melalui prespektif transformasionalis. Meningat tidak banyaknya penikmat film pendek secara khusus, penulis sempat melakukan penelitian singkat dengan metode wawancara langsung dan melalui surat elektronik kepada 15 orang pelaku film pendek untuk memperoleh data, khususnya mereka yang pernah terlibat di Festival Film Solo (FFS) 2014, 7-10 Mei yang lalu. Narasumber pada wawancara ini terdiri dari pembuat film pendek, penonton dan penikmat film pendek, serta pengkaji dan kritikus film pendek yang pernah terlibat pada acara tersebut. Hal ini mengacu pada empat topic besar, yaitu (1) tujuan dan manfaat film pendek, (2) pemanfaatan teknologi, (3) perolehan referensi, dan (4) penyaluran ide dalam film pendek. Kemudian dengan menggambarkannya melalui studi kasus FFS, penulis mencoba menjelaskan hasil dari penelitian singkat tersebut, dan menilai sikap para pelaku film pendek tersebut menggunakan prespektif transormasionalis yang ada dalam perdebatan globalisasi."
Ya, itu salah satu isi esai yang  saya buat beberapa hari terakhir dan akhirnya selesai beberapa menit yang lalu. Tunggu dulu, esai lain yang berisi 2.500 kata masih menunggu. Namun, bukan itu yang ingin saya tunjukkan. Ada hal yang menurut saya menarik untuk dibahas lebih lanjut dan disyukuri keberadaannya.

Seminggu yang lalu, saya mengalami kegalauan yang dalam karena belum memperoleh ide topik untuk esai mata kuliah Globalisasi. Jumat (27/6) lalu, saya mendapatkan pencerahan untuk mengangkat topik mengenai film pendek. Saat itu juga saya mencoba menghubungi teman-teman 'baru' saya melalui surel, WhatsApp, Twitter, dan SMS. 
Siapakah mereka yang saya hubungi? Seperti yang ada pada esai itu, saya menghubungi pelaku film: pembuat, penonton, dan pengkaji film. Pelaku film itu kebanyakan saya kenal pada saat ada di Festival Film Solo, Mei lalu. Siapakah mereka di mata orang? Mereka adalah mahasiswa, kontributor majalah, kritikus film, penulis surat kabar, editor media, pengamat film, fotografer, pekerja sosial, dan sutradara murni. Mereka terlibat dalam perhelatan FFS, baik menjadi penonton, penyaji, maupun eksibitor. 
Siapakah mereka bagi saya? Mereka adalah orang-orang yang baru saya kenal, belum ada enam bulan, dan saya merasa nyaman dan menganggap mereka sudah dekat dengan saya selayaknya teman awal kuliah. 
Siapakah saya? Entahlah mereka menganggap saya siapa, yang jelas kebanyakan dari mereka langsung membalas surel saya malam itu juga atau esok harinya. Mereka membalas pertanyaan-pertanyaan yang panjang dan berat itu. Iya, mereka menghabiskan waktu di depan gadget-nya dan meluangkan waktu untuk berbincang dengan saya, untuk suatu hal yang sangat tidak berpengaruh terhadap kehidupan mereka, yaitu tugas akademik saya. 
Jadi, siapa saya di mata mereka? Mungkin saja hanya orang yang numpang buang air kecil, atau justru menjadi tamu di tengah kesibukan mereka.

Yang jelas, detik itu saya terharu dengan jawaban-jawaban menakjubkan yang hadir di setiap pesan masuk dalam kotak pesan surel saya. Sapaan-sapaan yang intim dan hangat membuat saya merasa bersyukur mengenal orang seperti mereka.
"...mungkin itu sedikit omongan orang yang sudah ngantuk dan jenuh dengan hatinya yang sendiri, tapi semoga igauwanku ini bisa sedikit membantu dalam menyelesaikan tugasmu, Bunda. Selamat Pagi :)" - A.J.
"Selamat pagi Ninda yang ternyata lebih muda dari saya...." - A.R.S.
"Halo Ninda... Sudah lama tidak jumpa... Pertanyaan-pertanyaanmu ini lumayan bikin pusing ya. hehehe... Oke deh..." - H.S. (and he even answered my question in the next paragraph!)
"hi gadis banjar yang ngangenin... " - A.L. :)
"maaf atas keterlambatanku untunk membalas. oke pertanyaan2 yang tetap menarik. karena entah mengapa kalau saya banyak dengar jawaban2nya mentah. aku coba jawab ya.." - T.B., sutradara kece yang ceritanya selalu out of the box. He did spare his time to reply my e-mail in the middle of an event. :')
"Ninda  yang  baik  hati  dan  tidak  sombong,  terima  kasih  atas emailnya.  Saya  coba  jawab semampunya, ya." - A.S., kontributor salah satu website kritik film di Indonesia.
"Semangat ngerjain essaynya ya.. Kecup hangat dari Gresik. :*" - A.M. :3
Seketika saya, yang nyaris putus asa, merasa terobati membaca pengantar-pengantar surat itu. Subyek surel yang saya kirimkan pada mereka memang sedikit meminta, mengharap, dan hangat, "Tanya yang Mengharap Jawab". Namun, tak menyangka mereka mau meluangkan waktu untuk memberikan kabar dan informasi pada saya.

Ini bukan apa-apa. Ini hanyalah bentuk kebahagiaan saya (lagi) bertemu dengan orang-orang baru. Bahagia yang tak terbendung saat pertemuan-pertemuan itu bisa berbuah persahabatan, persaudaraan, dan kedekatan yang mengobati segala luka dan sepi. Saya menghormati dan menghargai mereka atas karya dan kapabilitas yang mereka hasilkan. Semoga saya juga menjadi berarti bagi mereka.

Yogyakarta, di tengah badai esai dan ujian yang datang bertubi-tubi, dan kerinduan akan Banjarnegara dan Solo.

Monday, March 17, 2014

Keinginan.

Sepanjang tahun saya hidup, saya selalu memiliki keinginan. Keinginan yang kemudian tumbuh menjadi harapan. Harapan itulah yang bertransformasi menjadi ambisi. Sayangnya, ambisi ini yang terkadang disalahartikan oleh orang lain. Padahal ambisi menjadi bahan bakar dalam mencapai keinginan saya. Pada saat-saat seperti inilah, prinsip diperlukan. Prinsip menjadi pegangan yang kuat; di tengah badai pujian dan cacian. Prinsip inilah yang akhirnya membentuk karakter saya saat ini.
Saya percaya bahwa apa yang saya katakan saat ini, bisa jadi menjadi kenyataan yang saya alami esok hari. Begitu juga, saya percaya bahwa apa saja keinginan saya saat ini, akan saya dapatkan esok hari. Namun, hal ini menjadi berbeda saat beberapa kali penyakit bawaan yang saya bawa dari kota kecil tempat saya tinggal, Banjarnegara, kumat dan mengusik kehidupan saya. Penyakit itu adalah penyakit berbahaya yang bisa mempengaruhi produktivitas saya, yaitu minder. Penyakit ini sering saya alami sebelumnya, terutama di akhir Sekolah Menengah Atas dan awal masuk kuliah. Penyakit ini berimplikasi pada turunnya tingkat percaya diri, produktivitas kerja, hambatan terhadap pergaulan, dan pelampiasan kesalahan pada diri sendiri. Penyakit ini diderita hampir semua anak muda yang ada di kota kecil saya itu, dan menyisakan mimpi-mimpi yang kering dalam malam kaum mudanya. Sampai pada akhirnya, penyakit ini bisa saya binasakan dengan pikiran saya sendiri. "Cogito ergo sum", Descartes menyebutnya. Manusia ada karena pikirannya. Beberapa kejadian penting telah membuktikannya.
Hingga akhirnya, setelah berbagai proses yang saya lalui, melewati gerbang satu ke gerbang lainnya, sampailah saya di titik ini. Di depan sebuah gerbang baru, berbahan dasar emas, dan berantai baja panas. Saya berdiri sambil membayangkan apa yang akan saya rasakan saat mencoba membuka rantainya. Apakah saya bisa menahan panas yang mendera? Apakah saya bisa mengurai simpul-simpulnya? Apakah saya mampu menahan godaan dari pintu lain yang sudah terbuka? Sebenarnya yang harus saya lakukan adalah sama dengan yang pernah saya lakukan sebelumnya. Namun, pintu ini terasa berbeda; begitu berat, berharga, dan penuh pengorbanan. Walaupun saya tahu bahwa pintu inilah yang merupakan salah satu tujuan hidup saya, tujuan hidup untuk mencapai tujuan hidup yang lainnya.
Manusia harus melihat dirinya sendiri, mengukur kemampuannya, mengamati kapasitasnya, dan menganalisis tindakannya. Namun, ada momen ketika yang diinginkan berada di luar jangkauannya itu. Haruskah berhenti dan mencari pintu lain yang bahkan sudah terbuka lebar? Atau mencobanya sambil mempermalukan diri?

Saya bersyukur masih memiliki sajadah untuk bersujud panjang pada-Nya yang Maha Membolak-balikkan Hati...

Friday, March 14, 2014

Baru.

Sudah lama laman ini tidak disisipi tulisan baru.
Entah mengapa, akhir-akhir ini jemariku kelu. Terlalu banyak berkutat dengan tugas kuliah yang menuntut banyak tulisan ilmiah, dan liburan pergantian semester yang menyenangkan, membuatku sedikit terlena dan mengabaikan papan tulis merah muda ini.
Lucu. Terakhir kali menyisipkan sesuatu, aku menitipkan pesan untuk umur 19-ku. Waktu demi waktu berlalu, kini aku hendak menginjak kepala dua, dengan bekal masih seadanya. Poin di daftar mimpiku memang hanya beberapa yang berhasil dicoret, namun Tuhan sungguh humoris. Aku diberikan banyak kesempatan, pilihan, dan keberkahan yang luar biasa di usiaku yang nyaris 'tua' ini. Berkali aku tersandung batu pilihan yang memaksaku untuk berhenti sejenak, memeriksa, mengamati, dan mengambil keputusan jalan mana yang harus kuambil di langkah selanjutnya.
Hingga kini aku ada disini. Hatiku tak sekuat dulu, memang. Ada beberapa luka yang menganga dan basah. Namun, jiwaku secerah sinar mentari, lariku bak kuda terkena cemeti, mimpiku semakin terlihat jelas di ujung jalan, kanan-kiriku ada bunga dan kupu-kupu yang menjadi candu. Aku hadir kembali dengan cerita yang berbeda dan siap membagikannya pada dunia.

Selamat malam, Yogyakarta.
Dari tubuh yang lemah terjangkit flu tulang.