Sunday, August 12, 2012

Di Ujung Mimpi

Seorang anak lelaki sedang  berdiri di depan warung gubuk, sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Ia menggunakan celana seragam merah dan sepatu hitam. Ada yang aneh, ia tidak memakai kemeja putih dan dasi merah seperti teman sebayanya. Ia hanya berkaos oblong lusuh tanpa lengan. Tiba-tiba datanglah seorang anak perempuan memakai seragam lengkap yang terlihat lebih tua darinya, mereka seperti kakak beradik. 
Mereka berdua menuju semak-semak, beberapa saat kemudian sang adik sudah berganti pakaian dengan kemeja putih milik kakaknya. Tanpa membuang waktu, ia bergegas berjalan ke sekolahnya sambil membawa kresek hitam berisi buku dan alat tulis.
Sialnya, sebelum sampai di sekolah, tiba-tiba sebuah mobil melewati kubangan air tepat disamping tempat sang adik berjalan. Baju lelaki kecil itu kotor terkena cipratan lumpur, ia menangis karena bingung harus bagaimana. Sambil menyeka air mata, ia melanjutkan perjalanan menuju sekolahnya. Sesampainya di sekolah, suasana sudah sepi tanda jam pertama masuk sekolah sudah dimulai. Lelaki kecil ini masuk ke ruang kelasnya dan mendapat omelan guru matematika yang terkenal killer. Ia diancam tidak boleh masuk kelas jika masih terlambat dan bajunya kotor lagi. Si kecil itu hanya menganggukkan kepala pasrah. Teman-temannya memandangnya dengan pandangan jijik dan merendahkan.
Saat jam istirahat, anak kecil ini terpekur memandang teman-temannya yang sedang berlarian di halaman. Ia belajar di sekolah favorit di kotanya. Orang tuanya yang hanya seorang pedagang kecil, harus bekerja membanting tulang demi menghidupi ia dan kakaknya. Bahkan ia dan kakaknya terancam putus sekolah pada semester akhir di kelas tiga ini karena orang tua mereka tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan sekolah yang semakin lama semakin tinggi. Mulai dari SPP, buku-buku, uang pembangunan, hingga iuran yang sebenarnya tidak penting seperti hanya mengada-adakan kegiatan saja. 
Bel masuk berbunyi. Ia bergegas masuk kelas dan mengeluarkan buku lusuhnya. Ia hanya berharap, waktunya masih cukup panjang untuk ada di sekolah ini, untuk mencapai mimpinya menjadi seorang dokter.
Malam harinya, dua bersaudara ini sedang belajar di bawah remang lampu tempel. Tiba-tiba sang Ayah memanggil mereka, menyuruhnya duduk di ruang tengah yang hanya seluas 2x3 meter itu. Selembar kartu SPP dan surat pemberitahuan tergeletak begitu saja diatas meja. Ayahnya diam cukup lama. Mereka tak sabar menunggu, membuka surat itu dan melihat nominal yang harus dibayarkan yang tertera di surat tersebut. Dan mereka tahu, bahwa ini semester terakhir mereka bisa belajar di sekolah itu, mengubur mimpi sang adik untuk menjadi dokter…

No comments:

Post a Comment