Seorang
anak lelaki sedang berdiri di depan
warung gubuk, sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Ia menggunakan celana
seragam merah dan sepatu hitam. Ada yang aneh, ia tidak memakai kemeja putih
dan dasi merah seperti teman sebayanya. Ia hanya berkaos oblong lusuh tanpa
lengan. Tiba-tiba datanglah seorang anak perempuan memakai seragam lengkap yang
terlihat lebih tua darinya, mereka seperti kakak beradik.
Mereka
berdua menuju semak-semak, beberapa saat kemudian sang adik sudah berganti
pakaian dengan kemeja putih milik kakaknya. Tanpa membuang waktu, ia bergegas
berjalan ke sekolahnya sambil membawa kresek hitam berisi buku dan alat tulis.
Sialnya,
sebelum sampai di sekolah, tiba-tiba sebuah mobil melewati kubangan air tepat
disamping tempat sang adik berjalan. Baju lelaki kecil itu kotor terkena
cipratan lumpur, ia menangis karena bingung harus bagaimana. Sambil menyeka air
mata, ia melanjutkan perjalanan menuju sekolahnya. Sesampainya di sekolah,
suasana sudah sepi tanda jam pertama masuk sekolah sudah dimulai. Lelaki kecil
ini masuk ke ruang kelasnya dan mendapat omelan guru matematika yang terkenal
killer. Ia diancam tidak boleh masuk kelas jika masih terlambat dan bajunya
kotor lagi. Si kecil itu hanya menganggukkan kepala pasrah. Teman-temannya
memandangnya dengan pandangan jijik dan merendahkan.
Saat
jam istirahat, anak kecil ini terpekur memandang teman-temannya yang sedang
berlarian di halaman. Ia belajar di sekolah favorit di kotanya. Orang tuanya
yang hanya seorang pedagang kecil, harus bekerja membanting tulang demi
menghidupi ia dan kakaknya. Bahkan ia dan kakaknya terancam putus sekolah pada
semester akhir di kelas tiga ini karena orang tua mereka tidak mampu lagi
mencukupi kebutuhan sekolah yang semakin lama semakin tinggi. Mulai dari SPP,
buku-buku, uang pembangunan, hingga iuran yang sebenarnya tidak penting seperti
hanya mengada-adakan kegiatan saja.
Bel
masuk berbunyi. Ia bergegas masuk kelas dan mengeluarkan buku lusuhnya. Ia
hanya berharap, waktunya masih cukup panjang untuk ada di sekolah ini, untuk
mencapai mimpinya menjadi seorang dokter.
Malam
harinya, dua bersaudara ini sedang belajar di bawah remang lampu tempel.
Tiba-tiba sang Ayah memanggil mereka, menyuruhnya duduk di ruang tengah yang
hanya seluas 2x3 meter itu. Selembar kartu SPP dan surat pemberitahuan
tergeletak begitu saja diatas meja. Ayahnya diam cukup lama. Mereka tak sabar
menunggu, membuka surat itu dan melihat nominal yang harus dibayarkan yang
tertera di surat tersebut. Dan mereka tahu, bahwa ini semester terakhir mereka bisa
belajar di sekolah itu, mengubur mimpi sang adik untuk menjadi dokter…
No comments:
Post a Comment